PLTN Gunung Muria
A. Latar Belakang Pembangunan PLTN Gunung Muria
Sampai
saat ini kontroversi rencana pembangunan PLTN Gunung Muria di
semenanjung Muria, Kabupaten Jepara, masih terus berlanjut. Pembangunan
PLTN ini diperkirakan memerlukan dana sekitar 67 Trilyun Rupiah yang
berasal dari pinjaman negara-negara maju seperti jepang. Dengan
digulirkannya rencana
pembangunan PLTN tersebut mempunyai dampak sangat
besar bagi lingkungan bisnis di ’sekitar’ PLTN. Pengusaha jenang dan
pengusaha rokok yang terkenal sangat banyak di kudus, jelas-jelas
menolak rencana pembangunan ini. Dampak nyata juga akan dialami oleh
bidang real estate. Salah satu diantaranya adalah: berkurangnya atau
habisnya nilai real properti yang berada di ’sekitar’ PLTN. Hal ini
dikarenakan rencana pembangunan PLTN dipresepsikan sebagai pembawa
pengaruh –adjustmen- negatif bagi nilai properti, dampak lain lebih
lanjut adalah tidak ada pajak real properti (PBB) dan PPH yang dapat
dipungut dari masyarakat, karena tidak ada lagi kegiatan perekonomian
dan bisnis.
Penggunaan lahan yang akan dijadikan PLTN juga cenderung luas.
Harian Suara Merdeka pada salah satu edisinya yang berbicara tentang
PLTN secara khusus, menyatakan bahwa terdapat beberapa ring / zona
keamanan PLTN. Zona pertama adalah sampai dengan sekitar 30 km dari
lokasi PLTN, zona kedua adalah mencapai 50 km dari lokasi PLTN –dan ini
berarti Kota Semarang termasuk dalam zona 2 ini, dan berikutnya adalah
zona 3 –yang kira-kira mencapai kendal, batang, pekalongan.[1]
Efek dari PLTN yang
paling sulit diterka adalah radiasinya. Karena radiasi PLTN tidak perlu
langsung membunuh manusia atau makhluk hidup di sekitarnya. Efek
radiasi / kontaminasi nuklir bisa terjadi tanpa disadari, bertahun-tahun
lamanya dan dapat menimbulkan perubahan sel kromosom (mutasi gen) yang
berdampak turun-menurun pada generasi-generasi selanjutnya.
Kiranya sisi keamanan dan keselamatan menjadi fokus utama dalam tarik ulur pembangunan PLTN ini. Beberapa sikap / perilaku yang ditunjukkan oleh banyak pejabat bangsa
ini sangat merisaukan masyarakat jepara, kudus, dan sekitarnya.
Perilaku seperti tidak tertib alias tidak disiplin pada prinsip kerja,
manipulasi data dan informasi, budaya KKN, kesempatan
berkuasa, bisa membuat kebijakan-kebijakan yang irresistable-, dan
sebagainya tentu masih menjadi momok bagi alasan keamanan dan
keselamatan ini. Bagaimana jika
pemerintah dan pelaksana pembangunan dan operasional PLTN nantinya
mampu menjamin bahwa kelemahan di bidang mental attitude bisa ditangani,
apakah akan melenyapkan kekhawatiran
masyarakat ? Sayang sekali jawabannya adalah tidak. Karena masih ada
faktor yang lebih dahsyat dari manusia atau SDM ini, yaitu faktor alam. Beberapa pihak yang pro dan kontra beserta alasannya:[2]
Pihak yang pro:
1. Ilmuwan nuklir dan pakar PLTN (BATAN)
2. Industri tenaga nuklir
Alasan pro:
1. Merupakan sumber listrik alternatif karena sumber konvensional (minyak, batu bara dan gas) makin menipis;
2. Harga listrik PLTN kompetitif;
3. Aman: per Twy (terrawattyear) kematian (manusia) yang disebabkan PLTN adalah 8 per Twy.
4.
Terkait isu pemanasan global: PLTN selama operasi tidak mengemisikan
gas rumah kaca CO2. Berdasarkan analisis daur hidup (penambangan
uranium, pemurnian, pengoperasian PLTN, pengolahan limbah, penyimpanan
limbah, dan pembongkaran instalasi PLTN yang mencapai akhir daur gunanya
-use cycle), emisi CO2 lebih rendah daripada sumber konvensional;
5. Karenanya, PLTN adalah sumber energi berkelanjutan.
Persepsi pro:
1. Nisbah Untung/rugi = besar (keuntungan atau manfaatnya jauh lebih besar daripada faktor negatifnya);
2. Kesediaan menerima resiko = besar.
Pihak yang Kontra:
1. LSM;
2. Akademik;
Alasan kontra:
1. Tidak dapat dijamin keamanannya – kasus Three Miles Island (AS, 1976) dan Chernobyl (Rusia, 1986);
2. Limbah nuklir baru aman setelah disimpan 10000 tahun;
3.
Perlu diperhatikan angka kematian / kesakitan yang tidak segera terjadi
karena penyinaran radioaktif –misalnya dari kecelakaan Chernobyl;
4. Laporan kenaikan leukimia anak di sekitar PLTN Sellafield, Inggris;
5.
Perlu dibandingkan dengan kematian karena pembangkitan listrik dengan
angin, surya, mini-mikrohidro, dan bahan bakar hayati (BBH) yang dikenal
sangat aman;
6. Pencemaran udara;
7.
PLTN menggunakan uranium yang non renewable (tak terbarukan) yang pada
suatu saat akan habis, sehingga PLTN bukanlah sumber energi
berkelanjutan;
8.
Emisi CO2 lebih rendah, apabila: menggunakan bahan tambang berkualitas
tinggi yang berkadar uranium 1% atau lebih (misal batuan tambang lunak
atau soft ore –batas emisinya 0,0015%); namun bila makin rendah
kualitas batuan tambang yang digunakan (misal granit -batas emisi lebih
tinggi), akan semakin tinggi emisi CO2. Oxford Research Group dalam
laporannya kepada British House of Commons pada tahun 2005 menyatakan
bahwa: emisi CO2 PLTN bervariasi antara 20% – 120% dari PLTU gas,
tergantung pada kualitas batuan tambangnya. Sebagian besar batuan
tambang uranium yang diketahui, mempunyai kualitas rendah. Dengan adanya
permintaan untuk bahan bakar nuklir yang juga naik, pada akhirnya
batuan tambang berkualitas rendah juga akan ditambang (sehingga emisi
CO2nya lebih tinggi daripada konvensional). Jadi, tidak ada jaminan akan
mengurangi emisi CO2.
Persepsi kontra:
1. Nisbah Untung/rugi = kecil (merasa tidak atau sedikit merasa mendapatkan keuntungan);
2. Kesediaan menerima resiko = rendah.
B. Telaah Kontrofersi Pembangunan PLTN Muria
Konflik Politik
Sejak
studi percobaan pertama akhir 1970-an, ada tim yang melakukan pemilihan
tapak, lokasi PLTN. Seluruh Pulau Jawa disisir dan ditemukan 14 lokasi
yang memenuhi syarat. Percobaan studi kedua, 1980-an, didapat 5 lokasi
tapak terbaik dari 14 pilihan. Tahun 1990-an, studi kelayakan yang lebih serius memilih satu dari 5 yang terbaik, yaitu Semenanjung Muria. Di sekitar semenanjung
Muria ada 6 pilihan titik yang dianggap terbaik, diseleksi lagi menjadi
3 dan akhirnya pilihan terakhir ditetapkan di Lemah Abang, Jepara.[3]
Kriteria penentuan tapak
ini sangat ketat. Aspek geologi struktur tanah tapak harus berada di
wilayah stabil, tidak boleh ada patahan lempeng bumi yang mengarah ke
lokasi tapak, apalagi patahan yang melintasi tapak tidak boleh sama
sekali. Seismologi (kegempaan) dan aspek gunung berapi (vulkanologi)
juga diperhitungkan. Tapak harus jauh dari gunung yang bisa meletus.
Aspek hidrologi air tanah di lokasi tapak dinilai, termasuk hidrologi
kelautan seperti kemungkinan tsunami dipertimbangkan juga kepadatan
penduduk di sekitar tapak, ada kriteria tersendiri.Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Muria tidak perlu dikhawatirkan mengulang kasus reaktor Chernobyl di Rusia yang menelan banyak korban jiwa. Pasalnya, PLTN Muria adalah untuk pembangkit tenaga listrik, sedangkan Chernobyl untuk memproduksi plutonium bagi pengembangan nuklir itu sendiri, sehingga kasus kebocoran seperti Chernobyl tidak perlu dikhawatirkan.
Nuklir sebetulnya bukanlah barang baru di Indonesia. Untuk keperluan riset, sejumlah perguruan tinggi sudah mengembangkannya seperti UGM, ITB, demikian pula Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Di rumah sakit, nuklir sudah lama digunakan untuk keperluan diagnosa. Hanya saja, untuk mengeksploitasi nuklir sebagai energi diperlukan reaktor tersendiri. Teknologi nuklir sangatlah efisien untuk menggantikan sumber energi yang tidak terbarukan. Satu kilogram uranium setara dengan 1000 – 3000 ton batu bara atau setara dengan 160 truk tangki minyak diesel yang berkapasitas 6.500 liter.[4]
Penerapan teknologi nuklir di Indonesia sudah dipersiapkan cukup lama, di antaranya dengan mengembangkan reaktor nuklir untuk riset di Tamansari, Bandung sejak tahun 1964 kemudian di Yogyakarta dan Serpong, Tangerang Untuk yang di Tamansari sudah beroperasi sejak 42 tahun lalu yang mampu menghasilkan listrik 2.500 Kwh. Besarnya minat investor dalam membangun PLTN Muria tak terlepas dari prospeknya yang cukup potensial. Dari segi dana yang diperlukan, pembangunan PLTN lebih murah dibandingkan pembangunan pembangkit listrik lainnya. Untuk setiap kilowatt energi yang dihasilkan di PLTN Muria diperkirakan hanya butuh dana antara US$ 1.500 – US$ 1.800. Sedangkan harga jual listrik diperkirakan bisa mencapai US$ 3,5 sen – US$ 4,2 sen untuk setiap kilowatt hours (kwh). PLTN Muria diharapkan dapat selesai tahun 2016. Produksi listriknya diharapkan dapat memasok sebesar 10 persen dari total kebutuhan listrik jaringan Jawa-Bali. Tahun depan (2008) pemerintah akan menggelar tender proyek pembangunan PLTN Muria berkapasitas 4.000 megawatt, bertahap sampai 2025 .[5]
Tim ahli dari Indonesia siap dengan teknologi yang juga dipakai di Prancis, Amerika, Korsel dan Jepang itu. Keinginan pembangunan PLTN Muria bisa jadi juga mengacu pada keberhasilan pengoperasian PLTN di Prancis, Jepang dan Korea (Negara-negara yang miskin sumberdaya energi primer). Setidaknya alasan-alasan diatas yang meniatkan pemerintah Indonesia untuk menginisiasi pembangunan PLTN Muria.
Walaupun pengembangan nuklir untuk tujuan damai, banyak pihak seperti : WALHI (Friends of Earth Indonesia), Greenpeace, Manusia (Masyarakat Anti Nuklir Indonesia) dan masyarakat sipil lainnya menentang pembangunan itu. Alasannya, Muria masih diragukan tingkat keamanannya. Di sisi lain, energi terbarukan seperti tenaga surya, panas bumi, angin, biomassa, arus laut hingga ombak bisa dimanfaatkan secara maksimal. Realitas industri nuklir saat ini tidak berbeda dengan keadaannya pada abad ke-20 dimana bahaya adalah bagian integral yang tidak dapat dipisahkan. Berbeda dengan nuklir, energi terbarukan dan efisiensi energi dapat menyediakan kebutuhan energi lebih cepat dan lebih aman. Indonesia harus menjadi pelopor dalam pengembangan energi terbarukan di kawasan karena Indonesia diberkahi dengan sumber-sumber energi terbarukan yang potensial dan menunggu untuk dikembangkan.
Penyebaran Informasi
Proses pelibatan, penyebaran informasi pada masyarakat diakui dan dicantumkan di dalam UU No 10/ 1997 tentang Ketenaganukliran, pasal 15 (a) dan (b) yang menyatakan: adanya jaminan kesejahteraan, keamanan, dan ketenteraman masyarakat dan terdapatnya jaminan keselamatan dan kesehatan pekerja dan anggota masyarakat serta perlindungan terhadap lingkungan hidup.[6]
Kebutuhan manusia dalam konsep humanistik akan rasa aman dari radiasi, kemungkinan kebocoran limbah nuklir, gangguan human error, kemungkinan hancurnya PLTN oleh gempa tektonik dan rasa tentram tidak mengalami gangguan psikologis (stres) berkepanjangan karena dekat dengan lokasi PLTN serta terdapatnya rasa dihargai, diajak untuk membicarakan, berdiskusi akan rencana pembangunan PLTN, termasuk berbesar hati jika masyarakat menolak rencana PLTN merupakan kata kunci, proses-proses untuk dapat memperoleh kepercayaan rakyat.
PLTN Muria dari Sudut Pandang Etika Lingkungan Hidup
Etika
lingkungan hidup, berhubungan dengan perilaku manusia terhadap
lingkungan hidupnya, tetapi bukan berarti bahwa manusia adalah pusat
dari alam semesta (antroposentris).[7] (Lingkungan
hidup adalah lingkungan di sekitar manusia, tempat dimana organisme dan
anorganisme berkembang dan berinteraksi, jadi lingkungan hidup adalah
planet bumi ini.[8]
Ini berarti manusia, organisme dan anorganisme adalah bagian integral
dari planet bumi ini. Hal ini perlu ditegaskan sebab seringkali manusia
bersikap seolah-olah mereka bukan merupakan bagian dari lingkungan
hidup.
Secara
entimologis manusia dan bumi sama sama mempunyai akar kata yang sama
dalam bahasa semit, yaitu disebut ‘dm, asal kata adam (manusia) dan
adamah, artinya tanah. Manusia adalah lingkungan hidup, sebab dia
mempunyai ciri-ciri dimana seluruh komponen yang yang ada berasal dari
alam ini, yaitu ciri-ciri fisik dan biologis. Istilah lingkungan hidup
pertama kali dimunculkan oleh Ernst Haeckel, seorang murid Darwin pada
tahun 1866, yang menunjuk kepada keseluruhan organisme atau pola
hubungan antar organisme dan lingkungannya. Ekologi berasal dari kata
oikos dan logos, yang secara harfiah berarti ‘rumah’ dan ‘lingkungan’.
Ekologi sebagai ilmu berarti pengetahuan tentang lingkungan hidup atau
planet bumi ini sebagai keseluruhan. Jadi lingkungan harus selalu
dipahami dalam arti oikos, yaitu planet bumi ini. Sebagai oikos bumi
mempunyai dua fungsi yang sangat penting, yaitu sebagai tempat kediaman
(oikoumene) dan sebagai sumber kehidupan (oikonomia/ekonomi).[9]
Lingkungan
hidup di planet bumi dibagi menjadi tiga kelompok dasar, yaitu
lingkungan fisik (physical environment), lingkungan biologis (biological
environment) dan lingkungan sosial (social environment). Di jaman
moderen ini teknologi dianggap mempunyai lingkungannya sendiri yang
disebut (teknosfer) yang kemudian dianggap mempunyai peran penting dalam
merusak lingkungan fisik.[10]Untuk
mempertahankan eksistensi planet bumi maka manusia memerlukan
kekuatan/nilai lain yang disebut ‘etosfer’, yaitu etika atau moral
manusia. Etika dan moral bukan ciptaan manusia, sebab ia melekat pada
dirinya, menjadi hakikatnya. Sama seperti bumi bukan ciptaan manusia. Ia
dikaruniai bumi untuk dikelola dan pengelolaan itu berjalan dengan baik
dan bertanggung jawab sebab ia juga dikaruniai etosfer.
Etika
adalah hal yang sering dilupakan dalam pembahasan perusakan lingkungan.
Pada umumnya pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini cenderung
langsung menggunakan fenomena-fenomena yang muncul di permukaan dan
kemudian mencari penyebabnya kepada aktivitas yang ada di sekitar
fenomena tersebut (misalnya: Logging, Pertambangan, nuklir, Industri
dll) sebagai tersangka dan untuk mendukung kecurigaan tersebut
digunakanlah bukti-bukti yang dikatakan ilmiah, walaupun sering terjadi
data yang dikemukakan tidak relevan.
Pada
sisi lain pihak yang dituduh kemudian juga menyodorkan informasi atau
data yang bersifat teknis yang menyatakan mereka tidak bersalah,
akibatnya konflik yang terjadi semakin panas dan meluas, padahal kalau
mereka yang berkonflik memiliki etika yang benar tentang lingkungan
hidup maka konflik yang menuju kearah yang meruncing akan dapat dicegah.
Apakah yang menyebabkan etika lingkungan cenderung
dilupakan? Pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal yaitu keserakahan
yang bersifat ekonomi (materialisme), ketidak tahuan bahwa lingkungan
perlu untuk kehidupannya dan kehidupan orang lain serta keselarasan
terhadap semua kehidupan dan materi yang ada disekitarnya, atau karena
telah terjadi transaksi jiwa antara perusak lingkungan dengan
Mephistopheles, sehingga yang di kedepankan adalah meraih puncak-puncak
nafsu yang ada di bumi dan sekaligus mendapatkan bintang-bintang indah
di langit atau surga.
Setiap
perbuatan manusia seharusnya memperhatikan juga kepentingan manusia
lain dan dampaknya bagi alam. Mengembangkan nuklir memang merupakan
suatu bentuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, yang juga
perlu diperhatikan jangan sampai kemajuan teknologi berimbas pada
sengsaranya orang lain dan kerusakan terhadap alam. Pembangunan disegala
bidang harus memperhatikan sisi humanitas dan kelestarian alam, karena
pada dasarnya manusia memiliki ketergantungan yang erat terhadap alam.
Jika alam rusak, sedikit banyak juga akan mempengaruhi kehidupan
manusia.
Deontologi Kant
Deontologi berasal dari bahasa Yunani “deon” yang berarti apa yang harus dilakukan; kewajiban.[11]
Secara harafiah merupakan teori tentang kewajiban. Deontik menunjuka
pada apa saj yang bertalian dengan konsep keniscayaan (keharusan) atau
dengan kewajiban (tugas).[12] Beberapa pengertian:[13]
1. Istilah “EtikaDeontologi” menunjukkan sistem sistem yang sebenarnya tidak ditentukan berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya.
2. Studi tentang konsep kewajiban (tanggung jawab, komitmen) dan konsep-konsep terkait dengan konsep kewajiban.
3. Deontologi
mrupakan suatu cabang etika. Ilmu ini bergumul dengan kewajiban,
tuntutan serta perintah moral, dan gagasan mengenai kewajiban pada
uumnya sebagai keharusan sosial yang khusus bagi etika. Istilah ini
diperkenalkan Bentham untuk menunjuk teori etika.
4. Deontologi
dibedakan dari aksiologi – studi tentang nilai, pada umumnya, teori
tentang kebaikan dan kejahatan. Kewajiban (sesuatu yang harus
dijalankan) mengungkapkan tuntutan-tuntutan hukum sosial, termsuk
kebutuhan individu dan masyarakat secara keseluruhan.
5. Dalam
arti lebih sempit, deontologi adalah etika profesional para pekerja
medis. Etika ini diarahkan untuk menjamin hasil maksimim pengobatan
misalnya dengan bantuan psikoterapi, dan menanti etika medis.
Menurut
Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak
yang baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan
syarat. Kesehatan, kekayaan, atau intelegensi, kisalnya adalah baik jika
digunakan dengan baik oleh kehendak manusia, namun jika dipakai oleh
kehendak yang jahat semua hal tersebut dapat menjadi buruk. Kehendak
menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban. Jika perbuatan dilakukan
dengan suatu maksud atau motif lain, perbuatan tersebut tidak dapat
dikatakan baik, betapapun luhur dan terpuji motif tersebut. Bertindak
sesuai dengan kewajiban oleh Kant disebut legalitas. Dengan legalitas
maka kita memenuhi norma hukum.
Suatu
perbuatan bersifat moral jika dilakukan semata-mata karena hormat untuk
hukum moral. Dengan huku moral dimaksudkan kewajiban. Kewajiban moral
mengandung suatu imperatif kategoris, atinya (imperatif = perintah) yang
mewajibkan begitu saja, tanpa syarat. Sebaliknya, imperatif hipotesis
selalu diikutsertakan sebuah syarat. Otonomi kehendak dimaksudkan oleh
Kant sebagai kehendak otonom bila menentukan dirinya sendiri, sedangkan
kehendak heteronom membiarkan diri ditentukan oleh faktor dari luar
dirinya seperti kecenderungan atau emosi. Menurut Kant, kehendak itu
otonom dengan memberikan kepada dirinya sendiri. Manusia itu bebas,
karena mengikat dirinya sendiri dengan hukum moral. Kebebasan tidak
berarti bebas dari segala ikatan.
Pemerintah Harus Bersikap Imperatif Kategoris
Segala
keputusan pada dasarnya ada di tangan pemerintah, sekalipun menyangkut
kemaslahatan masyarakat. Sebagai wakil rakyat seharusnya pemerintah
menyuarakan aspirasi masyarakatnya. Sebagian besar dari rakyat
menyatakan ketidaksetujuan atas pembangunan PLTN Gunung Muria, lebih
dikarenakan masalah keamanan manusia dan lingkungan. Namun, di sini
pemerintah lebih mengutamakan aspek politis dibandingkan keselamatan
rakyatnya. Pemerintah seharusnya mampu bersikap berdasarkan “imperatif
kategoris”-nya Immanuel Kant dengan bertindak tanpa syarat. Ketika sudah
dipercaya oleh rakyat seharusnya pemerintah mampu menjalankan amanah
sebagai bentuk perealisasian tugas yang dijalankannya, tanpa adanya
suatu syarat yang menyertai pekerjaan yang dilakukan yang menyangkut
masyarakat dan bangsa. Jika seorang manusia sebagai individu saja harus
bersikap berdasarkan “imperatif”- kewajiban, seharusnya sebagai orang
yang diberikan kepercayaan lebih, pemerintah harus selalu mengerjkan
pekerjaan berdasarkan kewajiban tanpa adanya suatu syarat, pamrih demi
kepentingan politik. Walaupun setiap individu pada dasarnya otonom namun
kebebasannya tersebut tetap terbatas dengan kebebasan dan kepentingan
orang lain. Pemerintah sebagai wakil rakyat tidak boleh mengambil
keputusan sewenang-wenang demi kepentingan politik dan golongan yang
nantinya akan merugikan rakyat. Di sini, tetap kepentingan rakyat yang
harus didahulukan.
C. Penutup
Jelaslah,
bisa ditarik benang merah bahwa sebenarnya dalam proses sekarang ini,
yang terpenting adalah bagaimana forum dialog sikap pro-kontra
pembangunan PLTN Muria dapat dilakukan pada batas-batas penilaian yang
objektif dan rasional. Masing-masing pihak baik yang pro maupun kontra
harus dapat memberikan solusi berdasarkan keobjektifan. Jika,
nyata-nyata dengan pembangunan PLTN Muria akan memberikan dampak buruk
dikemudian hari, maka sudah sepatutnya pemerintah mencari solusi lain
untuk mendapatkan pasokan energi baru. Kontroversi PLTN tidak dapat
hanya sekedar dianalisis secara fisika dan teknis, melainkan juga perlu
dianalisis secara eko-sosio-kultural, psikologis. Di sini, pemerintah
harus melakukan survey terlebih dahulu terhadap kehidupan sosiokultur
dan psikologis masyarakat sekitar.
Seharusnya
PLTN menjadi alternatif terakhir! Pemerintah seharusnya mengembangkan
terlebih dahulu sumber energi yang lebih aman untuk digunakan, termasuk
upaya penghematan energi dengan menaikkan efisiensi penggunaan energi
yang bersifat terbarukan (angin, surya, mikrohidro, BBH –Bahan Bakar
Hayati) yang mempunyai keuntungan bersifat tersebar, sehingga dapat
dibangun di desa-desa dan pulau kecil, sehingga pembangunan dapat merata
–pro rakyat miskin. Hal yang lebih penting lagi adalah bahwa PLTN
memerlukan jejaring transmisi grid yang mahal untuk dapat mencapai
pedesaan, apalagi untuk mencapai pulau-pulau kecil. Jadi, menurut saya
sudah seharusnya, PLTN tidak menjadi prioritas dalam pembangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar