Tanggal
11 Maret 1966 Sukarno mengeluarkan surat perintah dan dibawa oleh tiga
jenderal untuk disampaikan kepada Suharto. Maksud dikeluarkannya surat
itu adalah untuk menugaskan Suharto mengamankan situasi, namun kemudian
berubah, bahwa surat itu seakan cek kosong yang dapat diisi apa saja
termasuk pemindahan kekuasaan dari Sukarno kepada Suharto. Teks asli
surat perintah itu sendiri sampai kini belum ditemukan.1
Peralihan kekuasaan ini oleh beberapa kalangan disebut dengan istilah “kudeta merangkak” (creeping coup)
yang dilakukan oleh Suharto. Sebuah kudeta biasanya dilakukan secara
cepat dan tidak terduga. Namun, kudeta ini dilakukan secara bertahap.
Ada yang mengatakan bahwa “kudeta merangkak” ini
terdiri dari beberapa tahap, di antaranya Subandrio melihat empat
tahap. Tahap pertama, menyingkirkan para jenderal pesaing Suharto
tanggal 1 Oktober 1965; tahap kedua, memperoleh Supersemar (akronim dari
Surat Perintah 11 Maret) yang kemudian dijadikan dasar pembubaran PKI
tanggal 12 Maret 1966; tahap ketiga, penangkapan 15 menteri yang pro
Sukarno tanggal 18 Maret 1966,dan tahap keempat mengambil alih kekuasaan
dari Sukarno.2
Bersamaan
dengan itu MPRS pun melakukan apa yang disebut oleh Adam “kudeta
merangkak” MPRS. MPRS berperan besar secara yuridis untuk memindahkan
kekuasaan dari Sukarno kepada Suharto. Namun MPRS itu sendiri akhirnya
dibubarkan.3
Jenderal
Suharto setelah peristiwa G 30 S melakukan pembersihan terhadap seluruh
kekuatan PKI. Orang-orang atau kelompok yang terkait dengan organisasi
tersebut pun tidak luput dari pembasmian.4
Periode
setelah tumbangnya pemerintahan Sukarno disebut dengan “Orde Baru”
untuk membedakannya dengan “Orde Lama”. Orde Baru didukung oleh banyak
kelompok yang ingin terbebas dari kekacauan masa lalu.5 Dukungan itu
dari kaum intelektual dan dari para mahasiswa.
Periode
antara tahun 1965-1975 dipandang oleh para pengamat, baik dalam maupun
luar negeri secara beragam, seperti dikatakan oleh Ricklefs. Dari sayap
kanan memuji pemerintahan Suharto karena mampu membasmi PKI dan
mengadopsi kebijakan pro –Barat. Namun, sayap kiri sebaliknya, di
samping memuji pemerintahan Suharto karena mampu menyeimbangkan ekonomi,
dan juga mengutuk buruknya catatan hak asasi manusia dan korupsi
pemerintahan tersebut.6
Ricklefs
lebih lanjut mengatakan bahwa, terdapat persamaan antara kebijakan Orde
Baru dengan kebijakan kolonial pada periode politik etis. Sebagaimana
pemerintah kolonial Belanda dahulu, Orde Baru juga berjanji akan
membangun ekonomi nasional dan meningkatkan taraf pendidikan dan
kesejahteraan. Orde Baru memang dapat membangun ekonomi nasional, namun
tidak dapat meningkatkan taraf pendidikan dan kesejahteraan. Sebagian
besar pembangunan ekonomi nasional bergantung pada perusahaan asing dan
hanya terjadi pertumbuhan kecil pada industri pribumi.7 Namun, ketika
modal asing yang masuk masih kurang pemerintah memanfaatkan “modal asing
domestik”, dari para pengusaha Tionghoa.8
Berkaitan
dengan Islam, gagasan Snouck Hurgronje mengenai Islam masih dianggap
penting, karena Orde Baru juga menghormati Islam sebagai praktek agama
secara pribadi, namun tidak memberi kesempatan untuk menjadi kekuatan
politik, sebagaimana pada masa awal ketika aktivis Islam dan tentara
pro- Suharto berhasil membasmi PKI dan menyingkirkan Sukarno.9
Untuk
mengamankan kekuasaan penguasa Orde Baru merekrut orang-orang yang
loyal terhadapnya, terutama dari kalangan militer. Pimpinan mulai dari
tingkat pusat hingga daerah banyak diisi oleh kalangan militer.10 Hampir
semua lini ia kendalikan, mulai dari ekonomi, politik, sosial sampai
budaya. Namun, tentu saja karena hal itu, beberapa intelektual kritis
bergerak melalui celah yang tidak dapat diawasi oleh penguasa.11
Dalam
bidang ekonomi, Orde Baru mewarisi hutang yang banyak yang membuat
negeri ini nyaris menuju jurang kehancuran. Negara tidak mampu membayar
hutang luar negeri sebesar US$ 2,4 miliar, hiperinflasi sampai 600
persen, produksi industri di bawah 20 persen dari kapasitas, pelayaran,
alat transportasi air, kereta api, dan jalan raya, selain itu seluruh
kontrol pemerintah terhadap ekonomi digerogoti korupsi yang menjalar ke
segala arah.12
Untuk
menyelesaikan masalah itu Jenderal Suharto melihat kepada kelompok
ekonom muda dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) untuk
mendapatkan berbagai saran. Para ekonom itu di antaranya Widjojo, Ali
Wardhana, Muhammad Sadeli, Subroto dan Emil Salim. Hubungan mereka
terjalin ketika Suharto di Bandung mengikuti kursus ilmu ekonomi dan
ilmu pengetahuan sosial lainnya pada Sekolah Staf dan Komando AD. Para
ekonom ini yang akhirnya menjadi penasehat ahli ekonomi Orde Baru untuk
menangani masalah ekonomi yang serius dan mereka sering disebut sebagai
“Mafia Berkeley” (karena banyak di antara mereka lulusan Universitas of California, Berkeley).13
Dalam
mengambil kebijakan berkaitan dengan ekonomi Orde Baru mengandalkan
bantuan luar negeri terutama dari barat, yang bertolak belakang dengan
kebijakan pemerintahan sebelumnya yang mengambil sikap anti-barat, yang
digaungkan Presiden Sukarno dengan “go to hell with your aid”.
Memang sejak awal Orde Baru menyadari untuk mengubah sikap anti-barat
dan hal ini tercermin pada kebijakan perdagangan dan investasi luar
negeri yang liberal.14
Melihat
sikap Indonesia yang telah meninggalkan kebijakan anti-barat dan
antikapitalis direspon positif oleh komunitas bantuan internasional.
Indonesia meminta untuk menjadwal kembali hutang luar negeri dan
memperoleh bantun luar negeri baru. Oleh karena itu pada Desember 1966,
di Paris, wakil pemerintah setuju dengan negara-negara Barat dan Jepang
untuk menjadwal ulang hutang luar negeri Indonesia yang telah jatuh
tempo kepada negara-negara itu. Untuk itu atas prakarsa Belanda pada
tahun 1967 dibentuklah konsorsium bantuan luar negeri internasional
untuk Indonesia yang diketuai Belanda, Inter-Governmental Group on
Indonesia (IGGI).15
Menanggapi
kebijakan pemerintah, mahasiswa berdemontrasi untuk menolak modal
asing. Puncaknya ketika kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta,
pada 14-17 Januari 1974. Demontrasi disertai kerusuhan, pembakaran dan
penjarahan. Banyak korban meninggal, luka-luka dan sebagian ditangkap.
Kekerasan ini untuk selanjutnya terus mengiringi rezim Orde Baru.16
Sementara
tim ekonomi melaksanakan program stabilitasi dan rehabilitasi dengan
hasil yang mengesankan. Keadaan ekonomi yang mengalami hiperinflasi
secara perlahahan dapat dikendalikan dengan kebijakan fiskal dan moneter
yang ketat. Hal ini terlihat dari turunnya inflasi dari 636 persen pada
tahun 1966 menjadi sekitar 9 persen pada tahun 1970. Pertumbuhan yang pesat ini dapat dipertahankan sampai sekitar tiga dasawarsa.17
Namun
pertumbuhan ekonomi yang pesat itu, seperti kebanyakan negara-negara
Asia Timur lainnya, berlangsung di bawah pemerintahan Orde Baru yang
sentralistik, otoriter, dan semakin represif. Pemimpin dengan
menjalankan pemerintahan semacam itu sering berdalih, bahwa pembangunan
ekonomi tidak mungkin berlangsung baik dalam suasana yang kacau dan
partai-partai politik umumnya saling ribut, hanya memikirkan politik dan
tidak memikirkan kepentingan nasional.18
Pertumbuhan
ekonomi yang pesat dan berkesinambungan di masa Orde Baru itu adalah
berkat kemampuan para teknokrat ekonomi menjaga kestabilan makroekonomi.
Akan tetapi, pada awal tahun 1990-an, disiplin kestabilan ketat itu,
yang telah dijaga oleh para teknokrat ekonomi sejak akhir 1960-an, mulai
merosot. Hal ini terlihat dari non-anggaran, yakni transaksi pemerintah
yang tidak tercantum dalam anggaran resmi pemerintah. Transaksi
keuangan ini mencakup lembaga-lembaga semi-pemerintah, seperti Badan
Urusan Logistik dan BUMN. Terutama untuk lembaga-lembaga yang tidak
sehat, perusahaan-perusahaan para pengusaha kroni serta keluarga.19
Pada
masa Orde Baru banyak terjadi pembatasan dan pelarangan terhadap
masyarakat. Partai-partai yang di zaman Sukarno bebas berdiri, pada masa
Orde Baru dipaksa dibatasi hanya tiga partai, yakni Golongan Karya
(Golkar) sebagai partai pemerintah, yang lainnya Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada tahun
1973.20 Banyak kalangan yang mengritik kebijakan pemerintah ini, namun
mereka yang mencoba bersuara segera dicekal, seperti yang terjadi pada
Kelompok Petisi 50.21
Selain
itu, banyak kegiatan masyarakat dibatasi, yang diangap berisi
membahayakan dan merongrong kewibawaan pemerintah. Bahasa masyarakat
disensor, dan sebaliknya penguasa menggunakan bahasa yang dianggap
tertib.22 Juga buku-buku yang dianggap berisi ajaran komunis dilarang,
termasuk karya-karya sastra.23
Soal
pelarangan ini, zaman Orde Lama terjadi pelarangan terutama menjelang
akhir masa pemerintahan, seperti yang dilakukan oleh organ-organ PKI
yakni Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Mereka berusaha mendorong
pemerintah melarang buku dan mengintimidasi para pengarangnya yang tidak
sealiran dan tidak mau diajak dengan mereka.24
Setelah
Orde Lama tumbang, pelarangan masih berlanjut, namun yang dilarang
buku-buku yang dianggap berisi ajaran komunis, kebanyakan pengarang yang
tergabung dalam Lekra.25 Sementara pengarangnya banyak yang
dipenjarakan dan dibuang ke pulau Buru.
Antara
tahun 1980 hingga 1990-an mulai banyak kritik bermunculan yang
ditujukan kepada pemerintah di antara dari kalangan mahasiswa. Mereka
menginginkan pemerintahan Orde Baru yang bebas dari korupsi. Protes
mahasiswa itu dijawab pemerintah dengan menangkapi berberapa mahasiswa,
divonis dan dipenjarakan.26 Banyak Media massa dihentikan yang
memberitakan fakta yang tak disukai pengusa.27
Tahun-tahun
setelah runtuhnya Uni Soviet di dunia internasional terjadi perubahan
peta politik, yang semula komunis sebagai musuh bersama, tidak lagi
dipandang sebagai sesuatu yang dilawan. Sementara di dalam negeri
Indonesia sendiri hal itu sepertinya masih belum disadari, seperti pada
kasus Timor Timur. Ketika Perang
Dingin berlangsung, Barat terutama Amerika mendukung Indonesia untuk
membendung komunisme di sana, namun setelah masa itu usai yang menjadi
perhatian Amerika adalah masalah HAM. Oleh karena itu Amerika tidak lagi
mendukung kebijakan Indonesia soal Timor Timur. Orang-orang Timor Timur
menuntut kemerdekaan penuh dengan Referandum.
Menjelang
kejatuhan Orde Baru, krisis moneter pada bulan Juli 1997 yang pertama
melanda Thailand menyebar ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dengan
hantaman krisis moneter ini membuat nilai tukar rupiah anjlok. Terjadi
ketidak percayaan (rush) terhadap bank. Suharto menambah hutang
baru dengan menandatangani kesepakatan dengan IMF, namun ia tidak setia
pada syarat-syarat dalam kesepakatan itu. Dalam situasi itu, ia pergi
ke Mesir untuk menghadiri pertemuan tingkat tinggi. Setelah presiden
kembali ke Jakarta, kerusuhan telah terjadi di mana-mana. Yang diawali
dengan terbunuhnya empat mahasiswa.28
Suara-suara
kaum intelektual dan mahasiswa yang menginginkan perubahan tak dapat
dibendung lagi. Puncaknya ketika para mahasiswa melakukan demontrasi dan
menduduki gedung DPR, Suharto yang terpilih kembali, akhirnya
mengundurkan diri, 21 Mei 1998.29 Dengan pengunduran diri itu, maka
berakhirlah rezim Orde Baru setelah berkuasa sekitar 32 tahun.
Mengiringi berakhirnya Orde Baru di Jakarta dan di beberapa kota lain
terjadi kerusuhan dan pembakaran. Dalam kerusuhan itu banyak korban
meninggal dunia. Sampai kini belum ada kejelasan siapa dalang di balik
kerusuhan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar