Jumat, 26 September 2014

pentingkah Kurikulum 13?

Pemerintah sedang berusaha dengan keras menjalankan Kurikulum 2013 yang semakin terdengar gaungnya. Dalam Kurikulum 2013 pembelajaran yang sebelumnya dianggap monoton, akan dibuat semenarik mungkin sehingga siswa dengan mudah memahami pelajaran. Dalam Kurikulum 2013 ini pula tata cara pelaksanaan pembelajaran lebih difokuskan kepada menyimak, mengamati, menanya, mempraktek, menalar kemudian mengkomunikasikan. Benarkah selama ini pembelajaran yang berlangsung tidak menerapkan kelima aspek tersebut? Inilah kekurangan pemerintah dalam menilai sejauh mana pembelajaran yang sebenarnya berlangsung.


Tidak cukup sampai di lima titik fokus pembelajaran dalam Kurikulum 2013 yang sebenarnya sudah dilakukan oleh sebagian besar guru. Pemerintah malah memangkas beberapa mata pelajaran yang jika lebih ditelaah dengan mendalam, pelajaran tersebut sama-sama memberikan efek penting pada pengetahuan siswa. Contohnya saja, pemerintah memangkas habis pelajaran Teknolog Informasi dan Komunikasi (TIK) padahal sebagian guru TIK sudah disertifikasi. Entah apa yang dipikirkan penyelengara pendidikan di ranah penuh tipu daya ini, namun menghilangkan pelajaran TIK sama saja membodohi siswa yang belum mengerti apa-apa tentang teknologi.

Pemerintah punya alasan kuat dalam meniadakan pelajaran TIK di Kurikulum 2013, alasan ini mengatakan bahwa TIK sudah dirangkum dalam pembelajaran lain mengingat hampir semua pembelajaran harus menggunakan media berbau teknologi. Dalam arti kata, setiap guru yang mengajar harus menayangkan slideshow di depan kelas. Untuk taraf siswa yang sangat tekun belajar pemerintah boleh saja menerapkan pembelajaran demikian. Untuk tingkatan siswa yang kesadaran belajar masih kurang sangatlah tidak tepat. Jika di kota besar guru tinggal mengajar dengan klik, maka di kampung-kampung guru harus mengajar dengan titik-titik di papan tulis. Pembelajaran menggunakan rumus/perhitungan, untuk siswa di kampung-kampung haruslah didikte dari mana dapat angka-angka sehingga mendapatkan hasil. Dengan slideshow? Entah bagaimana seorang guru bisa mentransfer pengetahuan mereka. Tidak semua materi ajar bisa ditampilkan di depan kelas dengan tayangan bagus, ditampilkan sangat baik agar guru dianggap hebat dalam membuat media pembelajaran. Bagaimana dengan siswa yang duduk mengkhayal di dalam kelas?

Terdapat alasan kuat pelajaran TIK masih sangat diperlukan di tingkat kabupaten/kota. Pelajaran ini menjadi pengantar siswa-siswi dalam memahami dan menggunakan alat berteknologi tinggi. Jika pelajaran TIK sudah digabung dengan pelajaran lain, maka siswa tidak ada waktu lagi untuk sekadar mengenal fungsi keyboard, bagaimana dengan dasar-dasar pengeditan dokumen di Microsoft Office Word. Di sini tidaklah kita bicara mengenai sekolah-sekolah unggulan yang punya banyak fasilitas, sekolah yang dibicarakan di sinilah merupakan sekolah-sekolah di kampung yang sama sekali tidak tersentuh fasilitas memadai dalam mendukung pembelajaran.

Penggabungan pelajaran TIK dengan pelajaran lain bukanlah berimbas pada guru semata, lebih lagi kepada siswa-siswi yang belum bisa mengoperasikan komputer. Dengan digabungkannya pelajaran TIK dengan pelajaran lain yang dianggap sesuai, maka siswa hanya melihat guru mengklik ini itu di depan kelas tanpa paham maksudnya. Padahal, jika dikronologikan lebih khusus pembelajaran TIK harus diajarkan dengan benar agar siswa tidak tertinggal dan mengkutak-katik teknologi informasi. Jangan pernah mengira bahwa siswa bisa belajar sendiri komputer di rumah masing-masing, hal ini akan berlaku di kota besar yang taraf kehidupan keluarga rata-rata tercukupi. Kehidupan di kampung terpencil tidak akan sama, harga komputer yang tinggi bisa disetarakan dengan biaya asap mengepul selama dua sampai tiga bulan.

Masih banyak pelajaran-pelajaran lain yang kemudian disesuaikan dengan pelajaran tertentu. Kekacauan yang ditimbulkan oleh pemangku kebijakan ini tidaklah menyentuh kalangan bawah. Seakan pemerintah hanya menilai daerah tertentu dalam menentukan suatu kebijakan. Indonesia ini sangat luas sekali, berbagai pelosok butuh pendidikan layak dan pemerintah melupakan bahkan tidak pernah melihat bagaimana pembelajaran berlangsung di tengah hara kehidupan yang tidak seimbang.

Memperkuat analisis tentang sebuah bayangan pendidikan tersebut, tertanggal 07 sampai 10 September 2013 penulis ikut terlibat dalam Sosialisasi Kurikulum 2013 di Kabupaten Aceh Barat. Kegiatan yang dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Barat ini mengundang guru mata pelajaran Matematika dan Fisika untuk tingkat SMA masing-masing 60 peserta. Dalam diskusi yang dipandu oleh rekan-rekan Widya Swara Banda Aceh, keluhan demi keluhan berdatangan dari guru-guru yang mengajar di pelosok Aceh Barat. Banyak keluhan yang muncul terutama tentang kekurangan guru serta fasilitas yang minim. Dan satu hal yang menjadi warna hitam pekat, adalah kecakapan siwa dalam mencerna penjelasan guru. Siswa di kampung sangat susah menerima pelajaran terlalu tinggi mengingat dasar pelajaran masih kurang. Hal ini bukan karena siswa-siswi termasuk dalam kategori bodoh, masalah ini muncul karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap guru di pelosok serta minat belajar siswa yang masih tertuju pada guru. Siswa di kampung tidak terbiasa menambah jam pelajaran di sore hari, pelajaran cukup berlangsung dari pagi sampai siang lalu pulang ke rumah dengan segenap aktivitas.

Pelaksanaan pembelajaran seperti yang diharapkan oleh pemerintah berlangsung mulus tidak akan didapat di sekolah-sekolah nan jauh dari pusat kota. Jika Kurikulum 2013 dilaksanakan dengan benar sesuai kaidah yang tertulis, maka pemerintah tidak hanya duduk diam di kursi empuk tanpa terjun langsung ke pelosok. Pemerintah harus melihat sendiri bagaimana pembelajaran yang berlangsung di daerah-daerah tertinggal kemudian baru bisa menyamaratakan dalam sistem pendidikan.

Bicara Kurikulum 2013 tentu akan mengarah pada pelaksanaan Ujian Nasional. Kurikulum 2013 tidaklah sejalan dengan Ujian Nasional yang sedang diterapkan pemerintah. Berkaca pada pembelajaran yang selama ini berlangsung di daerah-daerah, pemerintah tidak bisa menyamakan soal antara siswa di kota besar dengan siswa di kampung. Dalam Kurikulum 2013 pula penilaian tidak hanya angka-angka penting di kertas putih lalu meluluskan siswa.

Mengutip Pakar Pendidikan, Darmaningtyas “Orientasi Ujian Nasional bertolak belakang dengan Kurikulum 2013. Konsep Ujian Nasional adalah teaching for the best (mengajar untuk ujian), sedangkan konsep Kurikulum 2013 antara lain tentang bertanya, mengekplorasi, maupun mempresentasi. Pemerintah harus konsisten mau melaksanakan Kurikulum 2013 atau melaksanakan Ujian Nasional. Kalau mau Ujian Nasional, batalkan Kurikulum 2013!”

Pemerintah tidak tinggal diam, seperti menjawab anggapan Darmaningtyas, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh mengatakan bahwa Kurikulum 2013 akan diterapkan secara utuh di tahun 2016. Hal ini tentu sangat merugikan siswa yang sekarang ini jadi korban pelaksanaan Ujian Nasional. Muhammad Nuh memang benar, karena sejauh ini buku-buku kurikulum sebelumnya harus dirombak habis-habisan dan baru beberapa buku yang sudah sesuai dengan Kurikulum 2013, di antaranya Matematika dan Bahasa Indonesia.

Pemerintah masih terus mengedit Kurikulum 2013 sampai tuntas menjadi sebuah kurikulum baku demi kemajuan pendidikan. Satu perkara yang tidak bisa diterima, pemerintah seakan abai terhadap bukti di lapangan dan protes guru terhadap pelaksanaan Ujian Nasional. Ujian Nasional dari dulu sampai sekarang sudah tuli akan kritikan guru serta pengamat pendidikan, dan untuk Kurikulum 2013 seakan juga merasakan hal yang. Para pemangku kebijakan yang tidak terlibat langsung dalam proses belajar mengajar, seenaknya saja mengubah-ubah bahkan menghilangkan pelajaran “penting” untuk siswa. Kita tunggu saja, sejauh mana pemerintah mengerti asa yang terus dipikul anak bangsa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar