Pemerintah sedang berusaha dengan keras menjalankan Kurikulum 2013
yang semakin terdengar gaungnya. Dalam Kurikulum 2013 pembelajaran yang
sebelumnya dianggap monoton, akan dibuat semenarik mungkin sehingga
siswa dengan mudah memahami pelajaran. Dalam Kurikulum 2013 ini pula
tata cara pelaksanaan pembelajaran lebih difokuskan kepada menyimak,
mengamati, menanya, mempraktek, menalar kemudian mengkomunikasikan.
Benarkah selama ini pembelajaran yang berlangsung tidak menerapkan
kelima aspek tersebut? Inilah kekurangan pemerintah dalam menilai sejauh
mana pembelajaran yang sebenarnya berlangsung.
Tidak cukup sampai di lima titik fokus pembelajaran dalam Kurikulum
2013 yang sebenarnya sudah dilakukan oleh sebagian besar guru.
Pemerintah malah memangkas beberapa mata pelajaran yang jika lebih
ditelaah dengan mendalam, pelajaran tersebut sama-sama memberikan efek
penting pada pengetahuan siswa. Contohnya saja, pemerintah memangkas
habis pelajaran Teknolog Informasi dan Komunikasi (TIK) padahal sebagian
guru TIK sudah disertifikasi. Entah apa yang dipikirkan penyelengara
pendidikan di ranah penuh tipu daya ini, namun menghilangkan pelajaran
TIK sama saja membodohi siswa yang belum mengerti apa-apa tentang
teknologi.
Pemerintah punya alasan kuat dalam meniadakan pelajaran TIK di
Kurikulum 2013, alasan ini mengatakan bahwa TIK sudah dirangkum dalam
pembelajaran lain mengingat hampir semua pembelajaran harus menggunakan
media berbau teknologi. Dalam arti kata, setiap guru yang mengajar harus
menayangkan slideshow di depan kelas. Untuk taraf siswa yang
sangat tekun belajar pemerintah boleh saja menerapkan pembelajaran
demikian. Untuk tingkatan siswa yang kesadaran belajar masih kurang
sangatlah tidak tepat. Jika di kota besar guru tinggal mengajar dengan klik,
maka di kampung-kampung guru harus mengajar dengan titik-titik di papan
tulis. Pembelajaran menggunakan rumus/perhitungan, untuk siswa di
kampung-kampung haruslah didikte dari mana dapat angka-angka sehingga
mendapatkan hasil. Dengan slideshow? Entah bagaimana seorang guru
bisa mentransfer pengetahuan mereka. Tidak semua materi ajar bisa
ditampilkan di depan kelas dengan tayangan bagus, ditampilkan sangat
baik agar guru dianggap hebat dalam membuat media pembelajaran.
Bagaimana dengan siswa yang duduk mengkhayal di dalam kelas?
Terdapat alasan kuat pelajaran TIK masih sangat diperlukan di tingkat
kabupaten/kota. Pelajaran ini menjadi pengantar siswa-siswi dalam
memahami dan menggunakan alat berteknologi tinggi. Jika pelajaran TIK
sudah digabung dengan pelajaran lain, maka siswa tidak ada waktu lagi
untuk sekadar mengenal fungsi keyboard, bagaimana dengan dasar-dasar pengeditan dokumen di Microsoft Office Word.
Di sini tidaklah kita bicara mengenai sekolah-sekolah unggulan yang
punya banyak fasilitas, sekolah yang dibicarakan di sinilah merupakan
sekolah-sekolah di kampung yang sama sekali tidak tersentuh fasilitas
memadai dalam mendukung pembelajaran.
Penggabungan pelajaran TIK dengan pelajaran lain bukanlah berimbas
pada guru semata, lebih lagi kepada siswa-siswi yang belum bisa
mengoperasikan komputer. Dengan digabungkannya pelajaran TIK dengan
pelajaran lain yang dianggap sesuai, maka siswa hanya melihat guru mengklik
ini itu di depan kelas tanpa paham maksudnya. Padahal, jika
dikronologikan lebih khusus pembelajaran TIK harus diajarkan dengan
benar agar siswa tidak tertinggal dan mengkutak-katik teknologi
informasi. Jangan pernah mengira bahwa siswa bisa belajar sendiri
komputer di rumah masing-masing, hal ini akan berlaku di kota besar yang
taraf kehidupan keluarga rata-rata tercukupi. Kehidupan di kampung
terpencil tidak akan sama, harga komputer yang tinggi bisa disetarakan
dengan biaya asap mengepul selama dua sampai tiga bulan.
Masih banyak pelajaran-pelajaran lain yang kemudian disesuaikan
dengan pelajaran tertentu. Kekacauan yang ditimbulkan oleh pemangku
kebijakan ini tidaklah menyentuh kalangan bawah. Seakan pemerintah hanya
menilai daerah tertentu dalam menentukan suatu kebijakan. Indonesia ini
sangat luas sekali, berbagai pelosok butuh pendidikan layak dan
pemerintah melupakan bahkan tidak pernah melihat bagaimana pembelajaran
berlangsung di tengah hara kehidupan yang tidak seimbang.
Memperkuat analisis tentang sebuah bayangan pendidikan tersebut,
tertanggal 07 sampai 10 September 2013 penulis ikut terlibat dalam
Sosialisasi Kurikulum 2013 di Kabupaten Aceh Barat. Kegiatan yang
dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Barat ini
mengundang guru mata pelajaran Matematika dan Fisika untuk tingkat SMA
masing-masing 60 peserta. Dalam diskusi yang dipandu oleh rekan-rekan
Widya Swara Banda Aceh, keluhan demi keluhan berdatangan dari guru-guru
yang mengajar di pelosok Aceh Barat. Banyak keluhan yang muncul terutama
tentang kekurangan guru serta fasilitas yang minim. Dan satu hal yang
menjadi warna hitam pekat, adalah kecakapan siwa dalam mencerna
penjelasan guru. Siswa di kampung sangat susah menerima pelajaran
terlalu tinggi mengingat dasar pelajaran masih kurang. Hal ini bukan
karena siswa-siswi termasuk dalam kategori bodoh, masalah ini muncul
karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap guru di pelosok serta
minat belajar siswa yang masih tertuju pada guru. Siswa di kampung tidak
terbiasa menambah jam pelajaran di sore hari, pelajaran cukup
berlangsung dari pagi sampai siang lalu pulang ke rumah dengan segenap
aktivitas.
Pelaksanaan pembelajaran seperti yang diharapkan oleh pemerintah
berlangsung mulus tidak akan didapat di sekolah-sekolah nan jauh dari
pusat kota. Jika Kurikulum 2013 dilaksanakan dengan benar sesuai kaidah
yang tertulis, maka pemerintah tidak hanya duduk diam di kursi empuk
tanpa terjun langsung ke pelosok. Pemerintah harus melihat sendiri
bagaimana pembelajaran yang berlangsung di daerah-daerah tertinggal
kemudian baru bisa menyamaratakan dalam sistem pendidikan.
Bicara Kurikulum 2013 tentu akan mengarah pada pelaksanaan Ujian
Nasional. Kurikulum 2013 tidaklah sejalan dengan Ujian Nasional yang
sedang diterapkan pemerintah. Berkaca pada pembelajaran yang selama ini
berlangsung di daerah-daerah, pemerintah tidak bisa menyamakan soal
antara siswa di kota besar dengan siswa di kampung. Dalam Kurikulum 2013
pula penilaian tidak hanya angka-angka penting di kertas putih lalu
meluluskan siswa.
Mengutip Pakar Pendidikan, Darmaningtyas “Orientasi Ujian Nasional
bertolak belakang dengan Kurikulum 2013. Konsep Ujian Nasional adalah teaching for the best (mengajar untuk ujian), sedangkan konsep Kurikulum 2013 antara lain tentang bertanya, mengekplorasi, maupun mempresentasi.
Pemerintah harus konsisten mau melaksanakan Kurikulum 2013 atau
melaksanakan Ujian Nasional. Kalau mau Ujian Nasional, batalkan
Kurikulum 2013!”
Pemerintah tidak tinggal diam, seperti menjawab anggapan
Darmaningtyas, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh mengatakan
bahwa Kurikulum 2013 akan diterapkan secara utuh di tahun 2016. Hal ini
tentu sangat merugikan siswa yang sekarang ini jadi korban pelaksanaan
Ujian Nasional. Muhammad Nuh memang benar, karena sejauh ini buku-buku
kurikulum sebelumnya harus dirombak habis-habisan dan baru beberapa buku
yang sudah sesuai dengan Kurikulum 2013, di antaranya Matematika dan
Bahasa Indonesia.
Pemerintah masih terus mengedit Kurikulum 2013 sampai tuntas menjadi
sebuah kurikulum baku demi kemajuan pendidikan. Satu perkara yang tidak
bisa diterima, pemerintah seakan abai terhadap bukti di lapangan dan
protes guru terhadap pelaksanaan Ujian Nasional. Ujian Nasional dari
dulu sampai sekarang sudah tuli akan kritikan guru serta pengamat
pendidikan, dan untuk Kurikulum 2013 seakan juga merasakan hal yang.
Para pemangku kebijakan yang tidak terlibat langsung dalam proses
belajar mengajar, seenaknya saja mengubah-ubah bahkan menghilangkan
pelajaran “penting” untuk siswa. Kita tunggu saja, sejauh mana
pemerintah mengerti asa yang terus dipikul anak bangsa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar